Biografi Amir Hamzah

Biografi Amir Hamzah
Amir Hamzah (foto: gramedia)


BIOGRAFI AMIR HAMZAH - Siapa Amir Hamzah? Nama lengkap Amir Hamzah adalah  Tengku Amir Hamzah, Lahir di Binjai, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 191. Amir Hamzah adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang juga merupakan pejuang dan pahlawan nasional. Amir Hamzah dikenal sebagai Raja Penyair angkatan Pujangga Baru.

Biografi Amir Hamzah

Kelahiran Amir Hamzah


Meskipun lahir dari keluarga bangsawan, Amir Hamzah lebih sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil dijuluki  “Tengku Busu” ( tengku yang bungsu). Sahabat masa kecilnya yang bernama  Said Hoesny, menyebutkan  bahwa Amir adalah seorang anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.

Masa Remaja dan Masa Dewasa Amir Hamzah

Amir Hamzah dididik dengan prinsip-prinsip Islam yang kuat. Ia belajar agama islam seperti mengaji, tauhid, dan fikih di Masjid Azizi Tanjung Pura. Amir Hamzah pertama kali belajar menulis di Sekolah Dasar berbahasa Belanda HIS di Tanjung Pura.

Pada tahun 1924, setelah lulus dari sekolah dasar, Amir melanjutkan pendidikannya ke Kota Medan untuk memasuki MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), yaitu pendidikan menengah setingkat SMP. Amir kemudian mendapat izin dari orang tuanya untuk pergi ke Jawa, yakni ke Batavia, untuk melanjutkan sekolah MULO tingkat 2 dan 3 disana.Selama di Batavia, Amir ikut dalam organisasi sosial yang bernama Jong Sumatra.

Tahun 1927, selesai menempuh pendidikan MULO, Amir Hamzah bertolak ke Solo guna mendaftar di sekolah AMS (Aglmeene Middelbare School) dan mengambil Jurusan Sastra Timur dan Bahasa. Amir Hamzah juga mempelajari bahasa Jawa, Sansekerta, dan Bahasa Arab. Selesai di AMS, Amir Hamzah kembali lagi ke Batavia dan melanjutkan pendidikan di sekolah Hakim Tinggi.

Setelah menyelesaikan semua studinya, Amir Hamzah kemudian bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat (bagian dari Taman Siswa) Jakarta. Semasa ini dia berkenalan dengan sastrawan Indonesia lainnya, seperti Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan juga Sanusi Pane. Amir Hamzah juga ikut terlibat dalam menuangkan karya-karyanya di majalah Poedjangga Baroe. Selain itu, dia juga menulis karya sastra di dalam berbagai majalah, seperti majalan Timboel, Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1935, Amir Hamzah diminta oleh pamannya untuk pulang ke kampung halamannya. Amir Hamzah kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Langkat  yang bernama Tengku Kamaliah. Amir Hamzah juga diberi gelar Tengku Pangeran Indra Putra. Amir Hamzah juga diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjungpura sebelum kemudian dipindah menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Tak lama berselang, ia diangkat menjadi Pangeran Langkat Hulu, menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dunia.

Peran dan Perjuangan Amir Hamzah

Selama di Solo (Surakarta), Amir Hamzah bergabung dengan gerakan nasionalis. Disana ia bertemu dengan sesama perantauan asal Sumatera untuk mendiskusikan  masalah sosial rakyat Melayu di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Pada tahun 1930, Amir Hamzah dipercaya untuk menjadi kepala cabang Indonesia Muda di Surakarta.

Ketika Amir Hamzah kembali ke Batavia pada tahun 1932 untuk melanjutkan sekolah Hakim Tinggi, ia pun mulai menulis dua puisi pertamanya yang berjudul “Soenji” dan “Maboek”. Kedua puisinya tersebut diterbitkan di Majalan Timboel.Masih di tahun yang sama, delapan karya lainnya juga dipublikasikan, termasuk sebuah syair yang ternama hingga saat ini berjudul “Hikayat Hang Tuah”.

Pada bulan September 1932, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, Armiyn Pane mengajak Amir untuk membantu mendirikan majalah sastra independen. Setelah melakukan berbagai persiapan selama beberapa bulan, akhirnya pada Juli 1933, edisi awal majalah Sastra yang berjudul “Poedjangga Baroe” berhasil diterbitkan.

Sepeninggal ayahnya, studi Amir Hamzah ditopang oleh Sultan Langkat dengan syarat Amir tetap menjadi siswa yang rajin serta meninggalkan gerakan kemerdekaan. Namun, pada kenyataannya Amir Hamzah justru semakin terlibat pada gerakan nasionalis yang membuatnya semakin diawasi dengan ketat oleh pemerintah kolonial. Meski demikian, Amir Hamzah terus menerbitkan karya-karyanya melalui majalah Poedjangga Baroe, termasuk diantaranya artikel tentang sastra timur dan terjemahan Bhagawad Gita.

Belanda yang khawatir akan sikap nasionalistik Amir Hamzah berhasil meyakinkan Sultan Langkat untuk memanggil kembali Amir Hamzah ke Langkat dan menikahkannya dengan putrinya. Setelah menikah dan menjadi Pangeran Langkat, Amir Hamzah lebih banyak  menangani masalah administrasi dan hukum.

Amir juga tetap melakukan  sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa. Demikian pula karya-karyanya tetap diterbitkan di Majalan Poedjangga Baroe.

Pada tahun 1940, Belanda yang mempersiapkan kemungkinan invasi Jepang membentuk divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen diberi tanggung jawab atas angkatan garda tersebut.

Pada awal tahun 1942, Jepang yang mulai menginvasi sehingga Amir Hamzah diutus menjadi salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Amir Hamzah kemudian tertangkap dan dijadikan tawanan perang sampai tahun 1943. Setelah dibebaskan dari tahanan, Amir Hamzah dalam  posisinya sebagai pangeran, mendapat tugas untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.

Dalam dunia kesastraan Indonesia, Amir Hamzah menjadi salah seorang sastrawan yang sangat penting. Melalui tangannya, lahir puisi-puisi yang indah dan menarik dengan rangkaian kata yang khas Melayu.

Dalam bukunya Kesusastraan Indonesia (1975),  Nursinah Supardo mengatakan bahwa Amir Hamzah berbeda dengan tokoh-tokoh Pujangga Baru lainnya. Alih-alih  mencontoh ke Barat untuk memodernkan kesusastraan Indonesia,  ia justru membongkar pustaka lama kesusastraan Melayu lama. Kuatnya basis pendidikan Islam yang didapatnya dari keluarganya,  membuat ia juga menjadi seorang seorang penyair Islam seperti Aoh K. Hadimaja, Bangrum Rangkuti dan lain-lainnya.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, dibentuklah pemerintahan baru termasuk di Sumatera. Pada tanggal 29 Oktober 1945. Teuku Muhammad Hasan yang kala itu diangkat menjadi gubernur Sumatera menunjuk Amir Hamzah sebagai wakil pemerintah RI di Langkat dan berkantor di Binjai.

Amir Hamzah Pasca Kemerdekaan 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatra dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatra.

Pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (jabatan saat ini disebut Bupati), dengan kantornya di Binjai; Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia, kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia), membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional, dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.

Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatra, dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat.

Pada tanggal 7 Maret 1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap; sementara Kamiliah dan Tahoera lolos. 

Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.

Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:

Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita

Wafatnya Amir Hamzah

Dalam suatu revolusi sosial yang dipimpin oleh Fraksi Komunis dan Kelompok Sosialis yang meletus di Langkat pada tanggal 7 Maret 1946, Sultan Langkat  dan anggota keluarga kraton Langkat termasuk Amir Hamzah diculik. Mereka kemudian dibawa ke sebuah perkebunan di Kwala Begumit yang berjarak sekitar 10 km dari Binjai.

Sejak saat itu, Amir Hamzah tidak pernah diketahui lagi keberadaannya. Sebuah kesaksian yang diketahui di kemudian hari menyebutkan bahwa para tawanan tersebut, termasuk Amir Hamzah, dipaksa menggali lubang dan disiksa oleh para penculiknya. Pada tanggal 20 Maret 1946, Amir Hamzah tewas bersama dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah lubang yang telah digali para tahanan tersebut.

Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali berhasil diidentifikasi jenazah para  anggota keluarga kraton yang terbunuh pada peristiwa revolusi dua tahun sebelumnya. Ditemukan pula disana tulang belulang Amir Hamzah. Pada November 1949,  jenazah Amir Hamzah dikuburkan di kompleks Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat.

Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975. 

Karya Sastra Amir Hamzah 

Buku Puisi Amir Hamzah


Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku; Johns menulis bahwa terjemahan ini umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya aslinya.

Sebagian besar tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe, meskipun beberapa karya sebelumnya diterbitkan dalam Timboel dan Pandji Poestaka. Tidak ada karya kreatif-nya yang bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan setiap individual puisi ditulis. 

Meskipun demikian, terdapat konsensus umum bahwa karya-karya yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi ditulis setelah karya yang termasuk dalam Buah Rindu, meskipun Buah rindu diterbitkan terakhir. Johns menulis bahwa puisi dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan kronologis, ia menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang ditunjukkan Amir kala tulisannya berkembang.

Jassin menulis bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di seluruh karya-karyanya, meskipun menghadiri sekolah yang dikelola oleh orang Eropa. Berbeda dengan karya-karya rekan sezamannya, Alisjahbana atau Sanusi Pane, puisi-puisi Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa seperti listrik, kereta api, telepon, dan mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih utuh..." dalam puisinya. 

Pada akhirnya, ketika membaca puisi Amir, "Membatja sadjaknja diruang fantasi kita tidak terbajang lukisan seorang jang berpantalon, berdjas dan berdasi, melainkan seorang muda jang berpakaian setjara Melaju." ("dalam imajinasi kita tidak melihat seorang pria bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian tradisional Melayu". 

Mihardja mencatat bahwa Amir menulis karya-karyanya pada saat teman-teman sekelas mereka, dan banyak penyair lain, "... mentjurahkan isi hati dan buah pikiran" ("mencurahkan hati atau pikiran mereka") dalam bahasa Belanda, atau jika "... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa Belanda" ("mampu membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.

Karya Amir sering berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh agama ditunjukkan dalam banyak puisinya. Mistisisme adalah penting dalam banyak karyanya, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Pada setidaknya satu cerita pendek, ia mengkritik pandangan tradisional bangsawan dan "merongrong representasi tradisional karakter wanita". Ada beberapa perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya, dibahas lebih lanjut di bawah ini.

Njanji Soenji 

Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi bulan November 1937, kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada tahun 1938. Koleksi ini terdiri dari dua puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul, termasuk puisi Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua". Jassin mengklasifikasikan delapan karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga belas yang tersisa sebagai puisi biasa. 

Meskipun ini adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan watak dan pembawaan yang baik dalam puisi ini, konsensus umum adalah bahwa karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis sebelumnya. Penyair Laurens Koster Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi termasuk yang ditulis antara 1933 dan 1937, sementara Teeuw menanggali puisi tersebut antara tahun 1936 dan 1937.

Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus pada nada-nada agama. Menurut Balfas, agama dan Tuhan terlihat di mana-mana di seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan puisi pertama "Padamu Jua". Jassin menulis, di dalamnya, Amir menunjukkan perasaan ketidakpuasan atas kurangnya kemampuan dirinya dan memprotes kemutlakan Tuhan, tetapi tampak menyadari kecilnya dirinya di hadapan Tuhan, bertindak sebagai boneka untuk kehendak Tuhan. 

Teeuw merangkum bahwa Amir mengakui bahwa ia tidak akan ada jika Tuhan tidak ada. Jassin menemukan bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai sebuah pelarian dari penderitaan duniawi Amir. Namun Johns menunjukkan bahwa pada akhirnya Amir menemukan sedikit penghiburan dalam Tuhan, karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang dapat membuat sebuah pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima konsekuensinya"; sebaliknya, ia tampak menyesali pilihannya untuk kembali ke Sumatra dan kemudian memberontak melawan Tuhan.

Boeah Rindoe

Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah Rindu"), diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi Juni 1941, kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat di akhir tahun itu. Koleksi ini terdiri dari dua puluh lima puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul; satu, "Buah Rindu", terdiri dari empat bagian, sementara yang lain, "Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas karya dalam koleksi ini telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau dalam Pandji Poestaka.

Koleksi ini, meskipun diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi, umumnya dianggap telah ditulis sebelumnya. Puisi-puisi dalam Buah Rindu juga bertanggal di periode antara 1928 dan 1935, tahun-tahun pertama Amir di Jawa; Koleksi ini memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi penulisannya, yaitu di Jakarta-Solo (Surakarta) -Jakarta.

Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan, yang diperluas oleh Jassin: merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di Sumatra dan satu yang di Jawa), dan kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang disebutnya sebagai "kekasih". 

Teeuw menulis bahwa kerinduan ini tidak seperti nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih duniawi, didasarkan pada realitas; Jassin mencatat perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak seperti Nyanyi Sunyi, dengan penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan eksplisit mengedepankan beberapa dewa, termasuk dewa Hindu, Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan dewa abstrak seperti dewa dan dewi cinta.

Puisi Amir Hamzah yang Populer 

Puisi Amir Hamzah yang populer adalah puisi yang bertajuk "Padamu Jua", puisi tersebut masuk kedalam buku puisi "Njanji Soenji" (dibaca Nyanyi Sunyi). Berikut adalah puisi lengkap "Padamu Jua"

Padamu Jua


Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu.

Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.

Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.

Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati.

Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas.

Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai.

Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mati hari - bukan kawanku ...

Sumber: Nyanyi Sunyi (1937) 

Puisi-puisi Amir Hamzah yang lainnya, dapat dibaca di blog ini dengan judul "Puisi Amir Hamzah"

Demikian Biografi Amir Hamzah yang sudah dirangkum oleh sudutkerlip.com, semoga Biografi seorang penyair sekaligus pahlawan nasional ini dapat dijadikan referensi, sebagai pencerahan dan pengetahuan untuk kita semua.  

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Biografi Amir Hamzah "

Posting Komentar

tulis komentar anda yang paling keren di sini

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel