Menyoal Kepenyairan dan Ayah yang Puitis (1)

sudutkerlip -- Kabar duka kamis pagi (18/2/2021) masuk melalui pesan di Group Whatsapp. Saya belum yakin bahwa yang wafat dalam pesan teks itu bernama “Iwan B Setiawan”. Karena baru saja terbangun dari tidur, maka saya mencoba mengulang kembali pesan itu dengan teliti. Maka yang terbaca begitu jelas dan sadarnya, bahwa nama tersebut adalah seorang guru, ayah, sekaligus kawan berdiskusi saya terkait sastra.

Jangan ditanya jika sedih atau tidak. Tentunya betapa sedih dan sangat menyesal, karena sebelum beliau wafat. saya belum bertemu kembali dengannya, untuk menceritakan segala yang sempat kualami, selama saya tidak berjumpa dengan beliau.  

Sejak tahun 2000 saya mengenal beliau hanya dengan karyanya saja. Dulu sekali, ketika di bangku SMP saya sering mengikuti berbagai lomba baca puisi di kota saya. Meski lingkupnya kabupaten, namun bagi saya mengikuti lomba baca puisi adalah sesuatu yang sangat mulia. Alasan lainnya karena memang saya menyukai puisi. Bahkan di bangku SD pun, saya senang jika ada pelajaran bahasa Indonesia, dan materinya adalah puisi. Maka saya akan maju ke depan untuk membacakan puisi. 

Saya mengenal beliau pertama kalinya dengan membaca puisi beliau yang bertajuk “Kasidah Lapar” dan sempat dibacakan dalam ajang lomba baca puisi se-kabupaten. 

Saya memilih puisi beliau, dengan pertimbangan yang simple pada waktu itu. Alasannya karena puisi “Kasidah Lapar” sangat nyaman dan cocok dibacakan bagi saya. Sampai pada akhirnya dengan membaca puisi tersebut, saya mendapat juara ketiga.

Sebenarnya agak kurang puas, mendapat juara ke-tiga. Karena saya inginnya juara ke-satu. Namun mungkin waktu itu kemahiran saya dalam membaca puisi untuk lomba belum begitu terampil, terlebih dalam lomba saya tidak mengukur dan membuat strategi lain. Misal, saya tidak mengenal siapa jurinya. Apakah dewan jurinya adalah orang yang kompeten di bidangnya, atau jurinya hanya akademisi, dan bisa saja hanya seseorang yang meyukai puisi. 

Singkat cerita, lomba-lomba puisi lebih sering saya ikuti, dan selalu saja masuk ke tiga besar. Meski di tingkat kabupaten saya belum pernah juara ke-satu. Tetapi di tingkat sekolah, atau di kampung sewaktu lomba-lomba seni acara Agustusan, saya selalu mendapat juara satu. 

Saya tumbuh lebih besar lagi, dan masuk ke SMA negeri. Di SMA saya masuk kegiatan ekstra sekolah “Sastra dan Teater”. Tidak ada sama sekali niat ingin bertemu dengan seorang penulis puisi “Kasidah Lapar”. Tapi secara ajaibnya, saya bisa bertemu dengan beliau di Gedung Kesenian.

Waktu itu dengan sangat tidak sengaja, saya mendengar ada seseorang yang memanggil nama beliau. Suara tersebut mengarah kepada lelaki paruh baya, dengan rambut ikal, sedikit terlihat uban bergaris di kedua sisi kepalanya. Lelaki itu mengenakan kemeja, sambil berjalan mengarah ke lantai dua gedung kesenian.

Lagi-lagi saya tidak terlalu penasaran dengan nama “Iwan”. Di gedung Kesenian, saya fokus berlatih teater. Tapi setelah beberapa kali melihat lelaki itu, akhirnya saya teringat dengan nama penyair “Iwan B Setiawan”. Dengan memberanikan diri, saya langsung bertanya pada lelaki itu, tentang nama lengkapnya. Akhirnya belia pun memberi tahu namanya yang nyaris membuat saya agak sedikit canggung.

Ternyata beliau benar-benar penyair yang menulis puisi “Kasidah Lapar” itu. Setelah saya mengenal nama dan orangnya dengan benar, dari situlah saya mengakrabkan diri dengan beliau. Meski sebenarnya beliau belum tahu, bahwa saya adalah anak sekolah yang sangat berprestasi di bidang puisi.


NB: Ceritanya berlanjut di bagian kedua dengan judul yang sama "Menyoal Kepenyairan dan Ayah yang Puitis"


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Menyoal Kepenyairan dan Ayah yang Puitis (1)"

Posting Komentar

tulis komentar anda yang paling keren di sini

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel