5 Puisi Ihsan Subhan (Radar Surabaya, 24 Agustus 2014)


KACA HUJAN

Hujan berkacakaca di taman
Selagi kekasih menuggu reda perjumpaan
Dengan sebatang kursi yang terbuat dari bebatuan
Dan atapnya adalah payung berwarna biru kekuningan
Kakinya hanyut dibuih gerimis percikan
Berseteru dengan daun-daun yang tak sempat
Berucap dengan bingkai badai kemarin
Seraya lunglay menanti cinta mendarat di kaki sorgawi
Hujan menjelma reranting kaca
Ia menyembunyikan kenangan
pada bening gelas dilumuri kopi

Lama tidak membayang sejak hujan tahun lalu
Tergantikan oleh silau puisi,
Seorang penyair telah membawanya ke negeri pelangi
Ia pun disetubuhi kata kata, dipasung ayat ayat senja 
Kekasih lama menunggu reda perjumpaan
Hujan berkacakaca di matanya
Menyaksikan hujan di pipinya sendiri
Mungkin tiada datang menjemputnya
Tapi hujan masih berkacakaca, mencari kabut
Mencari lelaki tertinggal di celah langit
Yang mulai mengecil, kabur, mengerut

2014

MENGAWANG

Seperti masa kanak, aku pergi merantau
Ke langit impian, tanpa perduli
Bagaimana mengepak sayap dan terbang

Seperti masa kanak, aku mengayuh sepeda
Ke jalan impian, tanpa perduli
Berapa lama waktu menuju bintang

Seperti masa kanak, aku naik pohonan
Ke dahan impian, tanpa perduli
Seberapa tinggi dakian telah dibelah

 2014


GELAR TIKAR

pada pertemuan kali ini, siapa yang tak sayang
dengan waktu dan ruang

tubuh membebaskanmu, duduk disanding pohon
ilalang riuh menggelar angin beringin

kembali ke tempaan yang teduh
rumput rumput menyerah, matahari enggan bertamu

gunung mengacung, bukit-bukit mengepal
aduhai puisi di garis sungai

2014


BIJIH SUNYI

ke siapa kebun dada dan isinya kuberikan
untuk ketenangan hutan yang lapang
tangkai tawakal menunggu subur
kembang-kembang mekar
dan sunyi lahir diantara loncat katak
sesekali duduk diam menangkap jejak

kampungku mengulum bisu
burung-burung tandang, mematuk ladang
ia semarak mengukur rumah penempaan
selagi musim belum sampai penghujan
telur-telur matanya belum sanggup hinggap
mengintip gemerisik sunyi kabut
dari hilir yang membawa pita prahara

tapi di langkah seribu merah jarum, bernama waktu
diam-diam petasan dan kembang api hari raya
mengecilkan auman
bulan menjauh dan sendiri mencangkul lolongan
hingga murung, tubuhnya terapung-apung

ke siapa aku mengambil kupu
tangan tak berkuku
ingin menyulut laut dari belakang punggungmu
semoga, camar dan angin liar
menyesap nama-nama yang kubiarkan kabur
mungkin menyebrang ke sisi lain samudra
lewat cadik kerdil tanpa jangkar labuhan

Cianjur, 2014


MANTEL HUJAN

yang membuat api di tungku leher
dan telapak tangan - kakimu
adalah genangan puisi selesai hujan
jika pun terbit lagi cahaya di lereng rumahmu
matahari akan menyambung sulut suhu yang tak biasa
mulai dari getir rindu yang terobati
sampai pada gerah gundah yang menyenyakan

di keningmu mulai ada yang merabai
seperti dibungkam bibir
para perindu kepulangan seseorang
yang tertinggal jauh dan kembali menerjang

musim memang penyeduh warna
karangan pelangi dalam gerimis
merebah di leher dan telapak kaki - tanganmu
ia merayapi ke tikungan tubuhmu
dan sedang mencari keringat layu

hanya di rumahmu lah, labirin dilapisi puisi lagi
lantainya marmer hujan, tiangnya menara hujan
jendela terbingkai hujan, pintu terpahat hujan, dan
tempaannya sebuah mantel, terbuat dari kulit hujan

Cianjur, 2014

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "5 Puisi Ihsan Subhan (Radar Surabaya, 24 Agustus 2014)"

Posting Komentar

tulis komentar anda yang paling keren di sini

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel