Puisi Acep Zamzam Noor

Puisi Acep Zamzam Noor


Puisi Acep Zamzam Noor selalu menjadi primadona para penyair, khususnya para penikmat sastra di Jawa Barat. Puisi-puisinya sering ditemukan di berbagai media cetak dan daring.  Puisi-puisi Acep Zamzam Noor pada umumnya berisi tentang cinta, sosial, dan ketuhanan. 

Dulu saya mengenal kang Acep hanya dalam buku saja. Buku pertama yang sampai saat ini melekat di kepala saya adalah buku kumpulan puisi "Menjadi Penyair Lagi", tidak hanya itu, puisi-puisi kang Acep ini, sering saya baca di koran kompas, media Indonesia, koran Tempo, dan Pikiran Rakyat. 

Pada akhirnya saya beberapa kali bertemu beliau di Acara-acara sastra dan pertemuan penyair. Dan saya menemukan sisi lain dari kang Acep ketika duduk lesehan bersama di pinggir lapangan sabuga Bandung. Waktu itu kami telah selesai mengikuti acara pertemuan seniman dan budayawan di Gedung Sate Bandung. (maaf, jadi curhat)

Selanjutnya, mari kita simak beberapa puisi Acep Zamzam Noor yang begitu indah dengan judul; Cahaya Pagi, Sepotong Senja, Aku Ingin Menemuimu, Sepanjang Jalan, Jalan Pulang, Pesan dan Gambaran, Tak Pernah Kutarik Bulan, Lukisan Cat Air, dan Sebuah Peta.  

Puisi Acep Zamzam Noor

Cahaya Pagi


1
Di daun talas
Pagi seperti embun
Bergulir pelan

2
Cahaya pagi
Menetes dari mata
Seorang bayi

2019 

Sepotong Senja

Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Senyummu terlalu jenaka untuk seorang Rabi’ah
Dan punggungmu belum cukup bungkuk untuk tertatih
Menyusuri lorong-lorong Basrah dengan tongkat tua
Bagiku, kesepian belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup terbakar dalam api

Berkali-kali kausebut aku Hamlet yang gila
Hanya karena keraguanku menafsirkan sorot matamu
Karena begitu lama kubutuhkan waktu untuk terus berlari
Sebelum kulumuri kanvas-kanvasku dengan airmata
Mungkin aku lebih mirip Sisifus yang terkutuk
Atau Narsisus yang mabuk? Sepotong senja yang kauberikan
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuungkapkan sebagai lukisan

Di terowongan-terowongan kota Mekkah
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya sekedar membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hatiku
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan

Di kanal-kanal Venezia, di relung-relung jembatan yang renta
Di antara para pelancong dan penziarah, juga para pelacur dan pastor
Aku tidak pernah lupa memanggil namamu, juga tidak pernah lupa
Menyumpahimu. Kubuka sebuah peta kuno di meja restoran
Sambil membayangkan pasukan kuda berderap dari arah selatan
Lalu kanvas-kanvas kosong kugelar sepanjang trotoar, kertas-kertas
Kutempel sepanjang terowongan. Ternyata aku tidak pernah lupa
Pada rambut ikalmu, pada hijau pupus kerudungmu


Sekali waktu kau mengejekku pengecut yang saleh
Ketika aku tersentak mendengar keinginanmu pergi ke Aceh
Mengikuti jejak Tjut Njak Dien dengan sebuah lentera kecil
Apakah kau mencari sesuatu yang paling ujung, paling tepi
Paling sunyi? Tapi alis matamu terlalu indah untuk rimba-rimba
Untuk perburuan makna di tengah dahsyatnya belantara
Ah, mungkin Lhok Nga akan menyambutmu dengan rebana
Atau malah menimbunmu dengan karangan bunga

Tiba-tiba aku tersungkur di lembah Mina
Jasadku yang telanjang hanya dibalut selembar kain putih
Seperti matahari, seperti udara, seperti tenda-tenda semuanya
Memutih. Apakah domba-domba mendengar jerit suaraku yang perih
Dan memberikan darahnya untuk mengentalkan lukaku? Apakah
Unta-unta mencium bau anyir kesakitanku? Apakah bukit-bukit batu
Membaca kerinduanku dan menggelindingkan satu bongkahannya
Untuk menindihku? Apakah gurun-gurun pasir memahami serapahku?

Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna
Dan bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum
Sambil melambai-lambaikan tangan dengan sebatang cerutu

Bagiku, keindahan belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup tenggelam dalam sepi

Aku Ingin Menemanimu

Aku ingin menemanimu pulang malam ini
Menaiki bis kota dan berhimpitan di dalamnya
Aku ingin menemanimu sampai halte berikutnya
Sampai kilometer selanjutnya, turun depan kantor polisi
Menunggu metro mini. Aku ingin menemanimu bersidekap
Dalam angkutan yang pengap, melewati sejumlah lampu merah
Melewati sekian perlintasan kereta api, melewati jalan-jalan layang
Melewati terowongan-terowongan hingga terjebak kemacetan
Dekat terminal. Aku ingin menemanimu menarik napas panjang
Mengeluarkan tisu dan mengelap keringat di kening serta lehermu
Aku ingin menemanimu turun dari kendaraan rombeng itu
Berjalan menuju pangkalan ojek. Aku ingin menemanimu
Melintasi tanah-tanah berlubang, menerobos liku-liku gang
Hingga pekarangan rumah kontrakanmu yang penuh jemuran
Aku ingin menemanimu membuka pintu, memasuki kamarmu
Mencopot sepatu, melepas semua pakaian dan melemparkannya
Ke bawah dipan. Aku ingin menemanimu menghidupkan kipas angin
Lalu meneguk air mineral yang dingin. Aku ingin menemanimu
Menyalakan televisi, menonton film biru dan mengisap candu
Aku ingin menemanimu bermain-main dengan sepi di kamarmu

Sepanjang Jalan

Sepanjang jalan kupungut patahan ranting
Kukumpulkan luruhan daun dan kutandai jejak kaki
Sepanjang musim yang basah kuaduk tong sampah
Kubongkar cuaca. Hanya hujan, hanya banjir
Dan aku kehilangan seluruh matahari
Kususuri selokan dan gang, kureguk minuman paling keras
Kulepaskan pakaian dan kuburu sunyi yang berloncatan
Seperti bunyi senapan. Kukejar hingga ke tengah pasar:
Aku pun menjelma pedagang kaki lima, menjajakan cinta
Pada setiap orang. Mengobral janji dan harapan
Sepanjang jalan kutulis sajak-sajak penuh kutukan
Kucari ungkapan-ungkapan paling gelap serta kurekam raung
Ambulan dan pemadam kebakaran. Sepanjang jalan raya
Sepanjang siang dan malam. Kumasuki penjara
Kujelajahi semua masjid, gereja dan vihara
Selalu saja aku tak tahu mesti menuju ke mana
Sepanjang keterdamparan, sepanjang keterasingan
Tak ada yang bisa kumengerti, tak ada yang perlu kupahami
Ingin berlayar, ingin terus mengembara
Mengayuh perahu usia, menggali kubur di lautan kata-kata


Jalan Pulang

Di jalan pulang
Bulan terlunta-lunta
Lupa alamat

2018


Pesan dan Gambaran

Bagi seorang penyair
Pucuk daun adalah pesan
Yang disampaikan ujung akar
Dari kedalaman tanah

Bagi seorang pelukis
Paras bunga adalah gambaran
Yang diungkapkan musim
Saat kuning menjadi kesumba

Pagi adalah hamparan kertas
Yang ditaburi bulir-bulir embun
Di tengah kabut yang mengurung

Petang adalah bentangan kanvas
Yang dipadati gumpalan mega
Dan suara burung-burung

2016
 

Tak Pernah Kutarik Bulan

Tak pernah kutarik bulan
Ke arah subuh. Tak pernah kuulur
Layang-layang malam
Meninggalkan langit tak utuh 

Kenangan kadang melintas
Ingatan kadang terhenti
Kadang aku mengerti batas
Tapi rindu tak mau tahu 

Bulan adalah layang-layang malam
Ditarik dan diulur benang gaib
Mengitari ruang dan waktu 

Subuh adalah gema yang mengendap
Ketika suara azan bersahutan
Dari masjid-masjid yang kini jauh 

2016

Lukisan Car Air

buat Tomoko Tominaga

1
Percikan warna
Kuntum-kuntum peoni
Semburat fajar
 
2
Suara poksai
Bulir embun di daun
Semilir angin

3
Bangkai momiji
Mendarat tanpa sayap
Di kanvas pagi

2017

 

Sebuah Peta

buat Sitor Situmorang
 
1
Udara demam
Jalanan batuk-batuk
Gagak berkoak
 
2
Lengkung jembatan
Seine mengalir tenang
Mentari lewat 

3
Paris menggigil
Di sepertiga malam
Sebelum salju

4
Panthoen tegak
Di antara reruntuk
Bangunan waktu
 
5
Angin mengental
Montparnasse terkubur
Guguran poplar
 
6
Monmartre petang
Bagai titik cahaya
Di kejauhan

7
Roma terpaku
Pada tiang katedral
Disalib sunyi

8

Bagai teratai
Venezia mengambang
Di mangkuk air

9
Genova diam
Kapal-kapal bertolak
Ke masa silam

2018

Demikianlah Puisi Acep Zamzam Noor, dipersembahkan untuk para pembaca semuanya di sudutkerlip.com, semoga bisa menginspirasi, juga bisa dijadikan rujukan untuk referensi bacaan puisi yang berkualitas. 

Profil Singkat Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, Menulis Puisi Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sedang kumpulan puisinya yang lain, Jalan Menuju Rumahmu, mendapat SEA Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand.  

Acep Zamzam Noor pernah bekerja di berbagai media massa cetak, antara lain harian Pikiran Rakyat. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa cetak, antara lain Pikiran Rakyat, Horison, Kalam, Dewan Sastra, Republika, Kompas, dan Media Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterbitkan dalam bentuk kumpulan sajak, yaitu Tamparlah Mukaku! (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbira (1999), serta Dayeuh Matapoe (1993, kumpulan sajak dalam bahasa Sunda). Selain itu, beberapa sajaknya hadir dalam antologi bersama penyair lain, seperti Tonggak 4 (1987), Dari Negeri Poci (1994), dan Ketika Kata Ketika Warna (1995). Beberapa esai telah ditulisnya, antara lain "Pesantren, Santri, dan Puisi" yang dimuat dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Sajak-sajak berbahasa Sundanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk masuk dalam antologi puisi Sunda berbahasa Inggris Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poems Soundanais: Anthologie Bilingue (Pustaka Jaya,2001).

Untuk profil lengkapnya bisa dibuka di sudutkerlip dengan Judul "Biografi Acep Zamzam Noor"  




Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Puisi Acep Zamzam Noor "

Posting Komentar

tulis komentar anda yang paling keren di sini

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel