LOKALITAS SASTRA DAN ANGGAPAN PUISI

 
Oleh Ihsan Subhan Pemerhati Budaya dan Sastra Indonesia 

Sastra merupakan salah satu alat estetika dalam mengekspresikan kegagahan kata-kata, meracik makna, dan mengutarakan maksud hati. Seni yang terdapat di dalamnya bisa memunculkan gairah social maupun personal dan yang dimaksud dengan adanya proses komunikatif dalam sebuah karya sastra adalah komunikasi dua arah yang mampu memberikan kontribusi kecerdasan emosional bagi si pencipta dan pe-apresiator. Sehingga apa yang disampaikan dalam sebuah karya sastra dapat menyatukan sikap, dan memaknai sifat bagi si penikmat sastra. 

Dalam hal ini sastra mampu mendorong segala aspek yang terangkum di dalamnya. Salah satu kepentingan bersastra ialah untuk memenuhi kebutuhan sikap positif dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, pembelajaran sastra di setiap lembaga pendidikan masih diikutsertakan dan ditempatkan dalam sebuah kurikulum atau panduan dalam proses belajar mengajar. 

Yang kedua sastra sering sekali dinimati oleh siapapun yang responsive pada kehidupan sebagai pembelajaran kehidupannya. Pengaruhnya bisa terukur ketika seseorang membaca karya sastra, setidaknya ia dapat memahami bahwa kehidupan itu ternyata banyak pengalaman dan petuah yang dapat ia serap untuk diarealisasikan di kehidupan nyata. Bagi masyarakat yang mengenal sastra hanya sebatas puisi, cerpen dan novel? Dan yang sering sekali dinikmati oleh masyarakat tersebut adalah novel. Karena novel lebih bersifat naratif, beralur dan memilki penokohan yang sengaja diciptakan sebagai symbol untuk mengikuti alurnya.

Lalu bagaimana dengan puisi? Puisi dipandang masyarakat hanya kiasan yang kerap selalu menimbulkan pertanyaan yang membingungkan, karena maknanya mungkin harus kita pahami dalam-dalam. Masyarakat memandang puisi berisikan kata-kata kiasan saja. Dan hanya sebagian orang yang memahami puisi adalah sebagai ungkapan emosional yang memilki bait dan perumpamaan yang dahsyat; menjadi sebuah renungan bagi si pembacanya. 

Tidak hanya itu penyair angkatan pujangga baru seperti Chairil Anwar pernah mempelopori bagaimana sebuah puisi bisa menjadi luas pengertiannya, tidak terikat lagi kepada etika kata-kata dan penempatan bait. Chairil menunjukan bahwa sebuah puisi mampu memberikan warna yang luas untuk penempatan kata-kata yang lebih proporsional dan kreatif. 

Lisense puitika dalam hal ini berperan penting untuk menunjukan bahwa puisi memiliki kebebasan dalam mengungkapkan ke-emosional-an jiwa penyair. Dan ini dibuktikan oleh Sutardji Calzum Bahri sendiri setelah pelpor utama memberikan pencerahan mengenai pemahaman puisi. Sutardji lebih bebas mengutarakan maksud pergolakan jiwanya. 

Puisi yang berjudul Tragedi Winka & Sihka oleh Sutardji Calzum Bahri membuktikan bahwa puisi bisa mengeksplor kata-kata lebih pareatif; bisa berbentuk paragraf, baris, atau menjorok, bahkan membentuk seperti benda. Sifat kompetitif dalam hegemoni sastra dan salah satunya adalah puisi, yang sempat mengalami kekhawatiran dalam menyikapi perkembangannya. Dengan banyaknya karya sastra yang muncul dan memasuki kawasan Indonesia, para sastrawan Indonesia tidak surut untuk masih konsisten terhadap lokalitas sastra di negeri. (**)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "LOKALITAS SASTRA DAN ANGGAPAN PUISI"

Posting Komentar

tulis komentar anda yang paling keren di sini

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel